Memaknai dan Mengamalkan Nilai-nilai Substansial Idul Adha

Solohitz.com, Jakarta– Idul Adha yang saat ini tengah dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia mengandung banyak sekali hikmah. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, mengajak umat Islam untuk memaknai dan mengamalkan nilai-nilai substansial Idul Adha untuk kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu ia sampaikan pada  khutbah Idul Adha 1444  H di Lapangan “Taman At-Taubah”, Masjid Baabut Taubah Pulomas, Jakarta Timur,  Jakarta, Kamis (29/6/20213).

Prof. Rokhmin menegaskan, hal itu bisa dimulai dengan  menghayati makna-makna yang ada di balik ibadah haji yang dilaksanakan oleh kaum Muslimin setiap bulan Dzulhijjah.  Mengutip pendapat  para ulama, Prof. Rokhmin menjelaskan, setidaknya ada tujuh  makna filosofis dan substansial dalam pengamalan ibadah haji.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil meninggalkan pakaian biasa dan menggunakan pakaian ihram (putih). “Dalam pakaian ihram itulah, dapat kita artikan bahwa semua kita adalah sama, tidak ada sikap diskriminasi dan tidak ada perbedaan diantara kita, apakah status sosial, ekonomi, profesi, politik dan sebagainya.  Sehingga, kita semua tidak ada yang paling mulia dan terhormat kecuali kemampuan taqwa kita kepada Allah  SWT,” kata Prof. Rokhmin seperti dikutip dalam rilis yang diterima Solohitz.com.

Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin itu  menambahkan, dengan pakaian putih pula, seseorang akan merasakan kelemahannya, keterbatasannya serta pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT.  “Pakaian inilah yang akan menjadi satu-satunya pakaian kita, ketika kita telah meninggalkan dunia yang fana ini.  Harta dan benda, jabatan, istri, anak-anak tidak akan menyertai kita kea lam kubur, alam barzakh, dan akhirat,” ujarnya.

Kedua, dengan pakaian ihram, maka semua larangan harus dihindari dan ditinggalkan oleh pelaku ibadah haji. Dilarang untuk menyakiti binatang/hewan, dilarang membunuh, dilarang mencabuti pepohonan dan lain sebagainya.  Mengapa? “Karena pada hakikatnya, manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah lainnya serta memberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaanNya. Setiap penciptaan pasti ada tujuan dan manfaatnya untuk kehidupan manusia,” kata Prof. Rokhmin.

Anggota Dewan Pembina BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia) itu   menambahkan, “Selain itu, pada saat menggunakan pakaian ihram juga dilarang untuk memakai wangian, berhias, menggunting rambut dan kuku dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan jati diri kita dan menghadap Allah dengan sebagaimana adanya.”

Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi merupakan simbol atas nilai -nilai kemanusiaan . Di sana misalnya ada Hijr Ismail (pangkuan Nabi Ismail A.S), saat Ismail dipangku oleh ibundanya, Siti Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak. Namun demikian, peninggalannya diabadikan Allah SWT untuk memberikan pelajaran kepada manusia, bahwa Allah memberi status seseorang bukan karena keturunan atau status sosial, bukan karena kecantikannya, bukan karena hartanya, tetapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk Hajr (hijrah) dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban yang mulia dan membahagiakan.

“Di sini bisa kita ambil pelajaran, walaupun bangsa kita sedang terpuruk baik segi ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya, tetapi kita tidak boleh pesimis, berkecil hati, dan merasa tidak mampu berbuat apa-apa.  Sebab, apabila kita berusaha sungguh-sungguh untuk membangun bangsa ini dengan meminta pertolongan Allah untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat.  Insya Allah,  ketertinggalan dan keterpurukan  yang terjadi saat ini akan segera teratasi,” papar Prof. Rokhmin yang juga anggota Dewan Pakar ICMI Pusat.

Keempat, ibadah Thawaf dengan tujuh kali mengitari Ka’bah sebagai simbol kepatuhan makhluk kepada Sang Khalik.  “Thawaf dalam arti menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Illahi, sehingga manusia betul-betul mampu menjadikan hatinya bersama dengan Allah (taat), kekhusukan hatinya tidak diragukan lagi dan terbentuklah pribadi yang mencintai sesama bukan meneror sesama,” ujarnya.

Sa’i Simbol Kerja Keras

Kelima, setelah thawaf, dilakukanlah sa’i.  Sa’i merupakan simbol etos kerja yang tinggi, tidak mudah menyerah dan tidak putus asa.

Di sini, jamaah haji hendaknya mengenang dengan penuh penghayatan akan sifat pantang menyerah dan tak kenal putus asa dari sosok Ibunda Siti Hajar.  “Kita sebagai manusia hanya wajib berusaha dan berdoa,  namun hanya Allah jualah yang akan menentukan segalanya (hasilnya).  Inilah hikmah yang paling besar dibalik peristiwa sa’i tersebut,” tuturnya.

Saat itu Ibunda Hajar dan anaknya Ismail kehausan, maka Hajar berlari-lari dari bukit Shafa ke Marwa, berharap menemukan setetes air pelepas dahaga. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang secara harfiah berarti kesucian dan ketegaran, sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran dan harus diakhiri di Marwa yang berarti “sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain”.

Sesudah tujuh kali ia berusaha, ternyata yang dia temukan hanya fatamorgana, disaat ia hampir putus asa, muncul harapan kepada Allah Yang Maha Kuasa, dia kembali ke dekat Ismail yang sudah lama menunggunya, tiba-tiba keajaiban muncul dari hentakan kaki Ismail yang mulia, setetes air yang diharapkan. Ternyata yang Allah berikan bukan hanya setetes air, namun berupa sumber air yang tidak ada putus-putusnya hingga saat ini. Hajar membendung air itu dengan pasir seraya berkata zam…zam (kumpul…kumpul…), lalu mereka meminumnya seraya bersyukur kepada yang Maha Kuasa.

“Begitulah sering kita temukan dalam kehidupan, banyak orang berusaha dengan segala daya dan upaya, letih lelah sudah biasa, dingin dan panas sudah dirasa, namun terkadang kehidupan tak berubah juga. Sadarilah …sesungguhnya kita hanya wajib berusaha, masalah hasilnya serahkan kepada-Nya,” kata Prof. Rokhmin mengutip QS. Al Insyirah: 7-8.

Keenam, wuquf (berhenti) sampai matahari terbenam di tanah Arafah, padang yang sangat luas dan gersang.  “Di  sanalah seharusnya kita menemukan ma’rifat pengetahuan tentang diri kita dan perjalanan kehidupan kita.  Di  sini pula kita bisa menarik benang merah agar supaya pemimpin bangsa ini memiliki pengetahuan tinggi, dalam arti pemimpin haruslah berjiwa bijaksana, merasakan penderitaan rakyatnya (seperti ketika merasakan panasnyadi Arafah) tidak malah menekan rakyat dengan beban-beban yang memberatkan, sedangkan mereka hidup dalam kemewahan,” ujar Prof. Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar Himpunan Pengusaha Nahdliyin.

Ia  menegaskan, pemimpin harus peka terhadap berbagai permasalahan bangsa saat ini. Mulai dari angka kemiskinan yang tinggi, pengangguran yang tak bisa dibendung lagi, status gizi yang rendah, stunting, kesenjangan sosial yang tinggi, daya saing bangsa rendah serta indeks pembangunan manusia yang masih rendah.

“Untuk itu, kita butuh pemimpin yang kompeten, taat kepada Allah, berakhlak mulia, dan mampu membantu mengatasi segenap permasalahan bangsa menuju Indonesia Emas (maju, adil-makmur, berdaulat, dan diridhai Tuhan YME), paling lambat pada 2045,” kata Prof. Rokhmin yang juga anggota Dewan Pakar MLH – Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ketujuh, dari ‘Arafah, para jamaah ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu setan.  Kemudian selanjutnya ke Mina dan di sanalah para jamaah haji melampiaskan kebencian dan amarahnya masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai simbol bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita.  ‘Melontar jumrah memiliki makna sebagai simbol kebencian dan perlawanan terhadap semua perbuatan tercela yang merupakan tipu daya setan,” tuturnya.

Tanda Haji Mabrur

Prof. Rokhmin mengemukakan, gerakan moral dan sosial dari ibadah haji tersebut semestinya bisa diaplikasikan secara baik ketika jamaah haji kembali ke Tanah Air. ‘Karena hakikat kemabruran haji selain ditentukan oleh pelaksanaan ibadah hajinya sendiri, juga sangat ditentukan oleh perilakunya setelah melaksanakan haji tersebut,”  ujarnya.

Anggota Dewan Pakar Majelis National KAHMI itu mengutip pernyataan  Imam Hasan Al-Bashri, bahwa yang  yang dimaksud haji mabrur adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan ia menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya.

“Pendapat lain mengungkapkan, haji mabrur ialah kesediaan memberikan harta, kapasitas IPTEK dan inovasi, dan kelebihan lainnya kepada yang membutuhkan.  Dan, ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala ucapan dan tindakannya sesuai pedoman Allah Azza wa Jalla (Islam),” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait