Wisuda selalu menjadi momen yang mengharukan. Ia bukan sekadar seremoni kelulusan, melainkan penanda bahwa seseorang telah melewati fase yang penuh tantangan, apa pun jenjangnya. Dari anak-anak yang baru lulus taman kanak-kanak hingga mereka yang menyelesaikan studi doktoral, semua memiliki perjuangannya masing-masing. Dan anehnya, semua perjuangan itu terasa sangat berat ketika sedang dijalani.
Saya tahu persis rasanya, karena saya sendiri pernah ada di setiap fase itu.
Saya masih ingat betul bagaimana saya, saat masih kecil, gelisah semalaman karena diminta menyanyi di depan kelas. Ketika masuk SD, saya sempat takut menghadapi ujian pertama. Di bangku SMP dan SMA, kekhawatiran berganti menjadi soal nilai, pilihan jurusan, dan kecemasan akan masa depan. Saat menjadi mahasiswa, tantangan datang dalam bentuk tugas, skripsi, dan akhirnya tesis. Hingga pada akhirnya, saya menempuh jenjang doktoral, di mana ujian tidak hanya menguji pengetahuan, tetapi juga ketahanan mental dan keyakinan pada diri sendiri.
Dan saya bisa mengatakan dengan jujur: tak ada satu pun fase yang benar-benar mudah.
Setiap jenjang memiliki tingkat kesulitannya sendiri, sesuai kapasitas dan usia kita saat itu. Anak TK bisa saja tak bisa tidur hanya karena besok harus menyanyikan lagu. Mahasiswa doktor bisa merasa tertekan menghadapi ujian disertasi. Semua itu nyata dan valid. Maka tidak bijak jika kita membandingkan atau meremehkan rasa takut orang lain hanya karena menurut kita tampak sederhana.
Kini saya mengajar di Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Solo dan menyaksikan sendiri bagaimana mahasiswa mengalami hal serupa. Mereka menghadapi banyak tantangan, mulai dari presentasi proyek, sidang akhir, hingga kecemasan menghadapi dunia kerja. Kadang saya melihat mereka gugup dan gelisah, sebagaimana dulu saya pun merasakannya.
Namun yang luar biasa adalah, setelah semua itu dilalui, mereka selalu berkata, “Oh, ternyata cuma begitu.”
Bukan karena ujiannya mudah, tetapi karena mereka sudah tumbuh.
Itulah siklus kehidupan belajar. Ujian yang dulu terasa seperti beban berat, kini menjadi pijakan yang menguatkan. Maka ketika kita melihat prosesi wisuda, lihatlah lebih dalam: ada ketakutan yang pernah dihadapi, perjuangan yang tidak terlihat, dan pertumbuhan yang tak ternilai.
Ini adalah pengingat untuk para orang tua, guru, dosen, dan pemimpin. Jangan remehkan rasa takut yang sedang dihadapi anak-anak dan mahasiswa kita. Bisa jadi, itu adalah tantangan terbesar dalam hidup mereka saat ini.
Dan untuk para pelajar, di mana pun kamu berada, tidak apa-apa merasa takut. Itu bukan kelemahan. Itu tanda bahwa kamu sedang bertumbuh.
Oleh: Candra Agustina