ChatGPT Versi Terbaru: Antara Inovasi dan Kebutuhan Manusia

 

Opini oleh Ahmad Fauzi

Surakarta_Sebagai seorang dosen sekaligus pemerhati perkembangan teknologi, saya menyambut hadirnya ChatGPT versi terbaru (GPT-5) dengan penuh rasa penasaran sekaligus harapan. Kita semua tahu bahwa kecerdasan buatan (AI) berkembang begitu cepat, dan ChatGPT menjadi salah satu ikon dari revolusi digital ini. Versi terbaru yang diluncurkan OpenAI tidak hanya menawarkan peningkatan akurasi, tetapi juga menghadirkan fitur personalisasi yang lebih kaya.

Bagi saya, kehadiran GPT-5 adalah lompatan besar. Kemampuan reasoning yang lebih dalam, integrasi dengan aplikasi sehari-hari seperti Gmail dan Google Calendar, hingga opsi kepribadian chatbot yang bisa dipilih, jelas membuat AI ini semakin relevan dengan kebutuhan kita—baik di dunia akademik, bisnis, maupun kehidupan pribadi. Saya melihat potensi besar pemanfaatannya dalam pembelajaran, penelitian, bahkan mendampingi mahasiswa dalam proses akademik.

Namun, di balik semua kecanggihan itu, saya justru menemukan tantangan baru: AI yang semakin pintar ternyata bisa kehilangan “rasa manusiawi”. Banyak pengguna yang merasakan bahwa GPT-5 lebih dingin dibanding GPT-4o, seolah-olah kita berbicara dengan mesin yang serba logis, tanpa kehangatan. Padahal, salah satu daya tarik ChatGPT di versi sebelumnya adalah kemampuannya untuk menjadi “teman bicara” yang empatik.

Di sinilah saya berpikir: teknologi seharusnya tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas secara emosional. AI yang sekadar cepat, tepat, dan rasional memang membantu, tetapi tanpa sentuhan empati, ia hanya akan menjadi alat, bukan partner. Padahal, banyak orang menggunakan ChatGPT bukan hanya untuk bekerja, tapi juga untuk curhat, mencari motivasi, bahkan sekadar merasa ditemani.

Menurut saya, OpenAI harus menyeimbangkan inovasi teknis dengan sentuhan humanis. Memberikan pengguna kebebasan memilih gaya interaksi, seperti apakah ingin yang formal, hangat, atau humoris, bisa menjadi solusi agar ChatGPT tetap relevan dengan kebutuhan emosional manusia.

Akhirnya, GPT-5 tetap saya anggap sebagai sebuah kemajuan luar biasa, tetapi saya juga percaya bahwa masa depan AI bukan sekadar tentang siapa yang paling pintar, melainkan siapa yang paling mampu membuat kita merasa didengar, dihargai, dan dimengerti.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *