Redominasi : Rupiah Dirapikan, Sistem Ditata: Peran Generasi Digital Dimulai

Wacana redenominasi, menghilangkan tiga nol pada pecahan Rupiah, kembali naik ke permukaan. Publik yang masih menyimpan trauma masa lalu kerap mencampuradukkan langkah ini dengan sanering, kebijakan pemotongan nilai uang yang pernah menyakiti daya beli masyarakat.

Padahal keduanya berdiri di dua dunia berbeda. Redenominasi bukan pemangkasan nilai, melainkan penataan ulang. Sebuah operasi kosmetik pada sistem keuangan yang dijalankan saat ekonomi stabil.

Meluruskan Mitos: Ini Bukan Sanering

Perbedaan mendasarnya sederhana:

  • Redenominasi: Nilai uang tidak berubah. Kopi Rp20.000 cukup ditulis Rp20. Efeknya ada pada efisiensi, bukan pada dompet.

  • Sanering: Nilai dipotong, daya beli ikut runtuh. Ini kebijakan darurat di tengah krisis, bukan rencana jangka panjang.

Jadi, redenominasi lebih mirip merapikan buku besar negara ketimbang operasi kejut ekonomi. Make-up teknis, bukan amputasi.

Jika kebijakan ini berjalan, pekerjaan paling berat justru tidak terlihat oleh masyarakat. Indonesia akan menjalankan salah satu upgrade sistem informasi terbesar sepanjang sejarah perbankan nasional.

  1. Efisiensi Data Nasional
    Tiga nol yang hilang berarti jutaan kolom angka di perbankan, POS ritel, fintech, hingga sistem akuntansi harus diubah. Konsekuensinya: data lebih ringkas, komputasi transaksi lebih cepat, beban penyimpanan server turun. Dalam skala negara, efisiensinya bisa sangat besar.

  2. Masa Transisi Dua Harga
    Periode ketika uang lama dan baru beredar bersamaan adalah titik paling rawan. Semua sistem digital harus bekerja tanpa cela. Satu bug kecil bisa menimbulkan kepanikan yang tidak perlu.

  3. Pengalaman Pengguna yang Lebih Waras
    Menulis Rp200 jauh lebih aman daripada Rp200.000.000. Kesalahan pencatatan berkurang, proses bisnis lebih cepat, dan beban mental pengguna bisa turun drastis.

SDM Adalah Penentu

Keberhasilan redenominasi pada akhirnya bertumpu pada kualitas orang-orang di balik layar—mereka yang paham desain sistem, alur data, hingga manajemen risiko. Di titik inilah kampus seperti UBSI memegang peran penting: mencetak tenaga yang fasih membaca struktur data, memahami mekanisme transaksi, dan tahu di mana saja celah bisa muncul.

Generasi digital tidak lagi sekadar jadi penonton. Mereka akan menjadi perancang sistem yang memastikan transisi berjalan mulus, database tetap bersih, dan algoritma konversi tidak tersandung di tengah jalan.

Makanya, kalau mau ikut jadi arsitek perubahan itu,  Kuliah ..?? BSI Aja !!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *