Bekasi, 17 Desember 2025 – Dunia pendidikan sedang berada di ambang disrupsi jilid dua. Setelah gelombang “Generative AI” (seperti ChatGPT) yang membuat geger ruang kelas karena kemampuannya mengerjakan PR, kini kita bersiap menyambut “Agentic AI”.
Jika Generative AI hanya bisa “menjawab pertanyaan”, Agentic AI bisa “melakukan pekerjaan” secara otonom. Isu krusial ini menjadi bahasan utama dalam gelaran “Digital Creative” di Aula UBSI Kampus Kaliabang hari ini, yang dihadiri oleh ratusan siswa SMK Taruna Bangsa, mahasiswa, dan tenaga pendidik.
Guru sebagai “Arsitek”, Siswa sebagai “Pilot”
Bpk. Tabrani, M.Kom, perwakilan tuan rumah UBSI Kaliabang, dalam sambutannya menekankan bahwa peran guru harus berevolusi.
“Kita tidak bisa lagi melarang siswa menggunakan AI, itu perang yang sia-sia. Tantangan bagi 5.000 guru yang menjadi target program ini adalah bagaimana mengubah peran dari ‘penyampai materi’ menjadi ‘fasilitator logika’. Di UBSI, kami menyusun kurikulum agar dosen dan mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna aplikasi, tapi memahami ‘otak’ di baliknya,” ujar Tabrani.
Apa Itu Agentic AI dan Mengapa Guru Harus Peduli?
Dalam sesi utamanya, Amin Nur Rais, M.Kom, AI Specialist & Partner DICO, menjelaskan perbedaan fundamental antara AI hari ini dengan masa depan.
“Hari ini kalian mengetik prompt, AI menjawab. Itu pasif. Di era Agentic AI, kalian memberi tujuan (Goal), dan AI akan mencari jalan sendiri untuk menyelesaikannya. AI akan menjadi ‘agen’ yang bekerja untuk kalian,” papar Amin1.
Namun, Amin memperingatkan bahwa kecanggihan ini membawa risiko jika manusianya tidak siap.
“Adopsi Agentic AI di dunia nyata sangat bergantung pada kesiapan manusia untuk mengambil peran baru: sebagai Supervisor dan Designer Alur Kerja Otomasi. Bukan lagi sekadar User,” tegasnya.
Peta Jalan Skill IT (Roadmap) untuk Pendidikan 2025
Berdasarkan paparan Amin, berikut adalah 3 Skill Kunci yang harus diajarkan di sekolah dan kampus untuk bertahan di era ini:
- Logika Algoritma (Bukan Sekadar Sintaks)
Bahasa pemrograman bisa berubah (dari Python ke prompt bahasa alami), tapi logika algoritma tetap sama. Siswa harus diajarkan cara memecah masalah besar menjadi langkah-langkah kecil (decomposition) yang bisa dikerjakan oleh Agen AI.
- Supervisi & Verifikasi (The Human in the Loop)
Karena Agentic AI bekerja sendiri, risiko kesalahan (“halusinasi”) bisa berakibat fatal. Guru harus melatih siswa untuk memiliki Critical Thinking yang tajam untuk mengaudit hasil kerja AI.
“Jangan asal setuju. Tantang output AI dengan data objektif,” pesan Amin3.
- Workflow Orchestration (Vibe Coding)
Kemampuan menggabungkan berbagai tools AI (seperti Gemini untuk riset, Stitch untuk visual, Opus untuk video) menjadi satu alur kerja yang efisien. Inilah yang disebut Amin sebagai “Komandan”4.
Kesimpulan: Teknologi Berubah, Peran Pendidik Abadi
Acara ditutup dengan optimisme bahwa secanggih apapun Agentic AI, ia tidak memiliki empati dan kebijaksanaan (wisdom). Itulah wilayah eksklusif guru dan manusia.
“Bukan AI yang akan menggantikan guru atau siswa. Tapi guru dan siswa yang menggunakan AI akan menggantikan mereka yang tidak,” pungkas Amin, mengutip premis populer yang kini semakin relevan.
Siap Menjadi Pendidik dan Talenta Digital Masa Depan?
Era Agentic AI menuntut skill baru. Pastikan Anda berada di lingkungan yang mendukung pertumbuhan tersebut.
🎓 Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Kaliabang
Mencetak lulusan yang tidak hanya siap kerja, tapi siap memimpin teknologi.
📍 Lokasi: Jl. Kaliabang Tengah No. 8, Perwira, Bekasi Utara.
UBSI Kaliabang: Kuliah…? BSI Aja!





