Ferry Irwandi Ngulik Engagement, Kalimasada Ngulik Saham, Rahasianya Sama: w·x + b

Galih Setiawan

Ada yang menarik dari konten-konten yang lewat di sosial media belakangan ini.
Kalimasada, temannya Timothy Ronald, membahas tentang CAPM (Capital Asset Pricing Model) dalam investasi. Di sisi lain, Ferry Irwandi mengulik soal bagaimana cara memprediksi score engagement konten.

Sekilas dua dunia ini jauh berbeda—satu berbicara tentang saham, satunya lagi tentang like dan share. Namun, menurut Galih Setiawan Nurohim, dosen Sistem Informasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Surakarta, keduanya ternyata bertumpu pada pola yang sama: regresi linear, atau lebih sederhana lagi, rumus klasik w·x + b.

Galih Setiawan

1. CAPM yang dibahas Kalimasada

Galih menjelaskan, CAPM mencoba menjawab pertanyaan sederhana:
“Berapa return yang layak saya harapkan dari sebuah saham, mengingat risikonya?”

Formulanya adalah:

  • E(Ri) → ekspektasi return saham i
  • Rf → risk-free rate (misalnya obligasi negara)
  • β → seberapa sensitif saham itu terhadap pasar
  • E(Rm) → return pasar secara keseluruhan

 

Jika disederhanakan, β hanyalah w yang memberi bobot pada risiko pasar. Ditambah dengan b (risk-free rate), maka jadilah persamaan linear.
“Jadi, melihat faktor risiko di pasar saham ternyata punya inti yang sama dengan persamaan garis lurus,” ungkap Galih.

 

2. Prediksi Score Engagement Ferry Irwandi

Masih menurut Galih, di dunia sosial media, Ferry Irwandi menunjukkan bahwa engagement konten juga dapat diproyeksikan dengan model linear. Faktor seperti jumlah orang yang menonton (watch), memberi like, berkomentar, hingga membagikan (share) konten bisa dijelaskan dengan persamaan:

Di sini:

  • p_watch = proporsi yang menonton,
  • p_like = proporsi yang memberi like,
  • p_komen = proporsi yang berkomentar,
  • p_share = proporsi yang membagikan.

Setiap faktor punya bobot (w) yang berbeda sesuai pengaruhnya.
“Engagement yang tampak acak di linimasa ternyata bisa ditarik lurus ke satu rumus sederhana: w·x + b, yang merupakan rumus Regresi linear” jelas Galih.

 

3. Dari Linear ke Artificial Intelligence

Lebih jauh lagi, Galih menambahkan, machine learning modern pun masih bertumpu pada pola yang sama. Neural network yang terdengar rumit, pada dasarnya hanyalah tumpukan operasi linear:

Baru setelah itu ditambah fungsi aktivasi.
“Artinya, kecerdasan buatan sekalipun tidak bisa lepas dari akar yang sama: regresi linear,” tegasnya.

 

4. Mengapa w·x + b Itu Abadi?

Menurut Galih, rumus ini abadi karena fleksibel dan lintas disiplin:

  • Di ekonomi, ia menjelaskan hubungan risiko dan return.
  • Di media sosial, ia menjelaskan pola engagement.
  • Di AI, ia menjadi fondasi model prediksi modern.

Dengan kata lain, w·x + b adalah bahasa yang umum untuk melakukan prediksi.

 

Sebagai kampus yang fokus pada teknologi, bisnis, dan kreativitas digital, UBSI justru berada di persimpangan ketiga dunia tadi:

  • Dunia keuangan (seperti yang dibahas Kalimasada),
  • Dunia sosial media dan konten digital (seperti yang dipaparkan Ferry Irwandi),
  • Dunia teknologi & AI (yang jadi arah masa depan).

Mahasiswa UBSI tidak hanya belajar teori, tapi juga bagaimana rumus sederhana seperti w·x + b menjadi dasar berpikir lintas disiplin. Dari analisis saham, ke strategi konten digital, hingga implementasi machine learning.

Itulah mengapa UBSI mendorong mahasiswa untuk punya fondasi konseptual yang kuat, karena kadang, sebuah garis lurus sederhana (Regresi Linear)  bisa menjelaskan dunia yang tampak rumit.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *