Wacana redenominasi, menghilangkan tiga nol pada pecahan Rupiah, kembali naik ke permukaan. Publik yang masih menyimpan trauma masa lalu kerap mencampuradukkan langkah ini dengan sanering, kebijakan pemotongan nilai uang yang pernah menyakiti daya beli masyarakat.
Padahal keduanya berdiri di dua dunia berbeda. Redenominasi bukan pemangkasan nilai, melainkan penataan ulang. Sebuah operasi kosmetik pada sistem keuangan yang dijalankan saat ekonomi stabil.
Meluruskan Mitos: Ini Bukan Sanering
Perbedaan mendasarnya sederhana:
Redenominasi: Nilai uang tidak berubah. Kopi Rp20.000 cukup ditulis Rp20. Efeknya ada pada efisiensi, bukan pada dompet.
Sanering: Nilai dipotong, daya beli ikut runtuh. Ini kebijakan darurat di tengah krisis, bukan rencana jangka panjang.
Jadi, redenominasi lebih mirip merapikan buku besar negara ketimbang operasi kejut ekonomi. Make-up teknis, bukan amputasi.
Jika kebijakan ini berjalan, pekerjaan paling berat justru tidak terlihat oleh masyarakat. Indonesia akan menjalankan salah satu upgrade sistem informasi terbesar sepanjang sejarah perbankan nasional.
Efisiensi Data Nasional
Tiga nol yang hilang berarti jutaan kolom angka di perbankan, POS ritel, fintech, hingga sistem akuntansi harus diubah. Konsekuensinya: data lebih ringkas, komputasi transaksi lebih cepat, beban penyimpanan server turun. Dalam skala negara, efisiensinya bisa sangat besar.Masa Transisi Dua Harga
Periode ketika uang lama dan baru beredar bersamaan adalah titik paling rawan. Semua sistem digital harus bekerja tanpa cela. Satu bug kecil bisa menimbulkan kepanikan yang tidak perlu.Pengalaman Pengguna yang Lebih Waras
Menulis Rp200 jauh lebih aman daripada Rp200.000.000. Kesalahan pencatatan berkurang, proses bisnis lebih cepat, dan beban mental pengguna bisa turun drastis.







